Written by: Admin
Share Impression SEO, Insurance, Schoolarsip, All Update Updated at: March 23, 2016
KERAJAAN PEDIR (Pidie Aceh Masa Lalu)
Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di
dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”,
berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan
sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga
kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur
dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam,
sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.
Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.
Menurut M. Junus Jamil, Suku yang
mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni
dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum
masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal
sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang
telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.
Baca Juga :
Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.
Baca Juga :
PEDIR dan SILSILAH KERAJAAN
Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.
Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra
pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa
(Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang
dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi
saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng
(Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan
dan perubahan yang berat kala itu, Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan
abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari agama lama
menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh
Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya,
pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus
mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.
Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.
Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat KerajaanAceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.
Sementara Prof. D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of South East Asia", mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.
Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.
Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.
Bahkan vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger,” kata Varhtema.
Varthema oleh Muhammad Said
disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam untuk sebuah tujuan
penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari
Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari
Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis
sejumlah buku tentang Aceh.
Dalam catatannya Varthema mengatakan
takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak,
dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan
dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”.
Selain itu Varthema juga menulis
tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan
dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat
Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat
peletup atau senjata api.
Bersambung Ke PEDIR dan Silsilah Kerajaan
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan komentar atas tulisan ini dengan mempertimbangkan kaidah dan etika, sebelumnya terima kasih.